LARANGAN SHOLAT BAGI ORANG MABUK DAN BERHADAS, WUDHUK, TAYAMUM



Orang yang yang mabuk, junub, berhadas kecil dan bersentuahn kulit dengan lawan jenis dilarang sholatkeciali ia berwudhuk. Sebagai mana yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 6.
Perbedaan ulama :
Ualama sepakat mengenai rukun dan anggota wudhuk sebagai mana yang teedapat dalam surat Al-Maidah ayat 6.
Hanya saja yang mereka perbedakan mengenai rukun wudhuk.
Imam Hanafi berpendapat rukun wudhuk ada empat amcam :
-          Membasuh muka
-          Membasuh tangan
-          Menyapu sebagian kepala
-          membasuh kaki
Mazhab ini tidak memasukan niat dan tartib menjadi rukun wudhuk dan menurut mazhab ini wudhuk sah tanpa niat dan tartib.




Imam Maliki berpendapat, rukun wudhuk ada enam macam :
-          Niat
-          Mambasuh muka
-          Membasuh tangan
-          Membasuh kaki
-          Muwalat (berturut-turut)
Imam Maliki memasukan niat dan muwalat sebagai rukun wudhuk, namun mereka tidak memasukan tartib sebagai rukun wudhuk.


Imam Al-Syafi’i berpendapat, rukun wudhuk ada macam :
-          Niat
-          Membasuh muka
-          Membasuh tangan
-          Menyapu sebagian kepala
-          Membasuh kaki
-          Tertib (berurutan)




Sedangkan menurut Imam Hambali, rukun wudhuk ada 7 macam :
-          Niat
-          Membasuh muka
-          Membasuh tangan
-          Menyapu sebagian kepala
-          Membasuh kaki
-          Tertib (berurutan)
-          Muwalat
Mazhab Hambali menjadi tertib ada muwalat sebagai rukun wudhuk.
Dengan demikian mazhab Al-Safi’idan Hambali menetapkan bahwa tertib termasuk wajib, sedangkan tiga mazhab mewajibkan niat dan dua mazhab mewajibkan muwalat.


Dalil yang dijadikan dasar oleh mazhab yang memandang niat sebagai rukun wudhuk adalah : sabda Rasulullah hal : 28 dengan arti jumhur ualama sepakat tentang wajibnya berniat dalam ibadah. Namun mereka berbeda tentang niat dalam berwuduk. Perbedaan mereka dilatar belakangi oleh berbedanya mereka dalam menilai tentang wudhuk itu sendiri. Imam Hanafi berpendapat bahwasanya wudhuk termasuk ibadah yang dapat dipahami maknanya ( ghayru mahdhah) kerena itu mazhab ini tidak memasukan niat menjadi salah satu rukun wudhuk.
Namun Imam Syafi’i dan Hambali memasukan tertib sebagai rukun wudhuk karena sesuai dengan urutan yang dijelaskan didalam ayat dimulai dari muka dan ditutup dengan kaki. Sedangkan Imam Maliki dan mazhab lainnya tidak menjadikan tertib sebagai rukun wudhuk tetapi menunjukan kepada berturut-turut tanpa diselingi oleh pekerjaan lain. Para ulama juga tidak sepakat dalam hal-hal yang termasuk membatalkan wudhuk.
Imam Hanfi berpendapat, wudhuk tidak batal jika bersentuhan kulit dengan lain jenis namun Imam maliki mengatakan wudhuk batal jika bersentuhan kulit dengan lawan jenis apabila menimbulkan syahwat. Sedangkan menurut As-Syafi’i : bersentuhan dengan lawan jenis membatalkan wudhuk, baik dengan syahwat atau tidak.
Mereka berbeda pendapat disebabkan dalam memaknai kata Allams yang terdapat dalam ayat yaitu pada ayat ini terrdapat dua makna yaitu, menyentuh dengan tangan dan jimak.
Imam Hanafi memaknai kata Al-lams dalam surat Al- Maidah ayat 6 dan An-Niasa ayat 43 kepada jimak. Menurut Imam Al- Syafi’iah, kata Al-Lams pada ayat ini berarti bersentuhan kulit.
Alasan mazhab Maliki dalam hal ini cukup beralasan, mereka berpendapat menyentuh lawan jenis yang dapat membatalkan wudhuk yaitu, sentuhan yang menimbulkan syahwat. Karena didasarkan oleh hadist yang diriwayatkan Mu’az bin Jabal: seorang datang kepada Rasul dan berkata:  Ya Rasul, bagai mana pandangan tuan tentang mengenai seorang laki-laki bertemu dengan seorang perempuan yang telah dikenalinya, kemudian laki-laki itu melakukan segala sesuatu terhadap wanita tersebut. Klecuali jimak. Mu’az berkata, kemudian turunlah ayat 114, Surat Hud, hal 31 dan artinya :
Kemudian mazhab Hanafi berpegang pada hadist mengenai Rasul mencium istrinya kemudian sholat tanpa berwudhuk, menunjukan bahwa wcium istrinya tanpa menimbulkan syahwat.
Imam maliki melakukan kompromi terhadap dua hadist yang saling bertentangan, hasil kompromi tersebut dijadikan pentakhsis ayat 6 surat Al-Maidah dan ayat 43 surat An-Nisa’, namun pendapat Al- Syafi’iyah cukup kuat pula dipegangi dengan cara Ibtiyah(berhati-hati)
Selain dari rukun wudhuk ulama juga berpendapat tentang sesuatu yang dapat dijadikan bertyayamum.
Berbedanya mereka disebabkan gandanya makna kata sha’id dalam ayat 6 surat Al-Maidah dan ayat 43 surat an-Nisa.
Imam Abu Hamifah berpendapat bertayamum dengan tanah, batu dan semua yang ada dibumi walau pun tak ada tanah padanya. Dia memakai kata sha’id yaitu tanah yang mengandung debu.