BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sanggat tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum. Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci Al-Qur'an yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung .
Mengacu pada prisip-prinsip hukum yang telah ditetapkan ajaran Islam dalam hal transaksi perniagaan yaitu:
(1) Penjualan (bay'),
(2). Sewa (ijarah),
(3). Hadiah (hibah),
(4). Pinjaman (ariyah).
Empat macam kemitraan ini diterapkan pada berbagai macam transaksi khusus. Salah satunya adalah kemitraan yang bersifat mudharabah. Melihat pada bahasan singkat diatas penulis berminat untuk membahasa lebih lanjut tentang konsep transaksi Mudharabah.
1.2. Definisi Mudharabah
Secara istilah, mudharabah berarti: akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan nisbah (prosentase) yang disepakati sebelumnya. Sedangkan menurut Wulama’ Hijaz wahbah az-Zuhayli :pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan ketentuan bahawa kerugian ditangung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha tidak dibebani kerugian sedikitpun kecuali kerugian berupa tenaga dan kesungguhanya.
Dan pada dasarnya Syarikah mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah dan qiradh. Sesuai dengan pengunaanya di kalangan kaum muslim itu sendiri. Penduduk iraq sering menggunakan istilah mudharabah untuk menyebutkan transaksi syarikat ini. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang . Allah berfirman.
Artinya : " Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagaian karunia Allah; dan orang-orang lain lagi yang berperang di jalan Allah" (Al-Muzzammil:20)
Ada juga yang mengatakan di ambil dari kata dharb (mengambil) keunutngan saham yang dimiliki. Sedangkan menurut para ulama', istilah syarikah mudharabah memiliki pengertian, yaitu pihak pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.
Tidak jauh beda definisi mudharabah menurut afzal-ur-rahman dalam bukunya doktrin Ekonomi Islam mengatakan bahwa mudharabah adalah perkongsian berhad merupakan suatu kontrak perkongsian, kontrak ini berdasarkan prinsip kongsi untung, apabila seseorang individu lain untuk digunnakan dalam perniagaan. Kemudian kedua-dua pihak akan berkongsi keuntungan ataupun kerugian mernurut syarat-syarat yang telah dipersetujui secara matual.
Sedangkan mudharabah menurut Mervyn K. Lewis & Lativa M.Al-Qaoud adalah sebagai sebuah perjanjian diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shohibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudhorib), untuk menjalankan seuatu aktifitas atau usaha.
Dari beberapa definisi diatas dapatlah penulis simpulkan bahwa: Syirkah mudharabah mengharuskan ada dua pihak, yaitu pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak pengelola (mudhorib). Pihak pemodal menyerahkanmodalnya dengan akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan (profit). Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan manakala terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.
1.3. Sumber Dasar Hukum Mudharabah
Para ulama telah sepakat, sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya, seperti dinukilkan Ibnu Hazm yang mengatakan:
“Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui –alhamdulillah- kecuali qiradh (mudharabah, -pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma yang benar. Yang dapat kami pastikan, hal ini ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengetahui dan menyetujuinya. Dan seandainya tidak demikian, maka tidak boleh”
Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
“Allah telah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan riba...(Q.S.Al-Baqarah:275)
Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Mujammil:20)
Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Mujammil:20)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 19
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Syuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
Dalam hadits yang lain diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Abbas bahwa Abbas Ibn Muthalib jika memberikan harta untuk mudarabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau memperbolehkannya.
1.4. Sejarah Perkembangan Transaksi Mudharabah
Pada dasarnya awal mula munculnya sejarah perkembangan sistem mudharabah mana kala para ulama’ fiqh membicarakan tentang riba, ketika mereka memecahkan permasalahan muamalah. Karena banyak ayat al-Qur’an yang membicarakan riba yang sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang larangan secara tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Karena pada hakekatnya riba telah dikutuk oleh agama samawi baik yang termaktub dalam perjanjian lama maupun perjanjian baru.
Kajian tentang larangan riba dalam konteks islam telah jelas dinyatakan dalam kitab suci al-Qur’an surah al-baqoroh: 278. Larangan tersebut pada dasarnya didasarkan pada suatu peristiwa atau asbabun nuzulnya ayat yang dinyatakan berkenaan dengan pengaduan bani mughiroh kepada Gubernur Mekkah setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin As-yad tentang hutang-hutangnya yang beriba sebelum ada hukum penghapusan riba, kepada Banu Amr bin Auf dari suku Staqif. Banu Mughiroh berkata kepada ‘Attab: kami adalah manusia yang menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum penghapusan riba.”
Dari peristiwa ini, jelas bahwa setelah datangnya hukum yang tidak memperbolehkanya praktek riba, baik dalam bentuk kecil maupun besar, maka praktek tersebut segera berhenti dan dinyatakan berakhir. Maka dari sinilah muncul beberapa bentuk transaksi-transaksi islami yang mencoba untuk menjauhi praktek ribawi, salah satunya adalah sistem transaksi mudharabah.
Pada awalnya mudharabah terbentuk dari dua istliah yang saling melengkapi arti dan maksudnya yaitu mudarabah dan Muqorobah, yang semuanya bermaksud untuk memeberikan uang untuk pinjaman bagi tujuan perniagaan. Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang.
Praktik ini kerab diberinama begitu karena darib berhak menerima bagaian tertentu daripada keuntungan berdasarkan usaha dan tenaganya. Pada masa dahulu seorang darib terpaksa berjalan di atas muka bumi dalam jarak yang jauh bagi membawa barang dagangganya untuk mendapatkan keuntungan. Dalam istilah undang-undang, mudharabah, bermaksud satu kontak perkongsian yang melibatkan seseorang rakan (yang dinamakan pemilik saham) yang berhak terhadap keuntungan berdasarkan stoknya yang mana beliau menjadi rabbi mal, atau pemilik saham (yang disitilahkan sebagai ras mal, dan rakan yang satu lagi berhak terhadap keuntungan berdasarkan tenaganya. Beliau mennjadi darib (atau pengurus harta). Oleh sebab itu beliau mendapatkan keuntungan berdasarkan usahanya atau tenaga yang ia keluarkan dalam usaha itu.
Pada awalnya mudharabah terbentuk dari dua istliah yang saling melengkapi arti dan maksudnya yaitu mudarabah dan Muqorobah, yang semuanya bermaksud untuk memeberikan uang untuk pinjaman bagi tujuan perniagaan. Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang.
Praktik ini kerab diberinama begitu karena darib berhak menerima bagaian tertentu daripada keuntungan berdasarkan usaha dan tenaganya. Pada masa dahulu seorang darib terpaksa berjalan di atas muka bumi dalam jarak yang jauh bagi membawa barang dagangganya untuk mendapatkan keuntungan. Dalam istilah undang-undang, mudharabah, bermaksud satu kontak perkongsian yang melibatkan seseorang rakan (yang dinamakan pemilik saham) yang berhak terhadap keuntungan berdasarkan stoknya yang mana beliau menjadi rabbi mal, atau pemilik saham (yang disitilahkan sebagai ras mal, dan rakan yang satu lagi berhak terhadap keuntungan berdasarkan tenaganya. Beliau mennjadi darib (atau pengurus harta). Oleh sebab itu beliau mendapatkan keuntungan berdasarkan usahanya atau tenaga yang ia keluarkan dalam usaha itu.
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG MUDHARABAH
2.1. Jenis Mudharabah
Taransaksi mudharabah pada dasarnya terbagi menjadi dua macam jenis, yaitu:
2.1.1. Mudharabah mutlaqoh
Bersifat tidak terbatas. Pada jenis ini pihak shohibul mal memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudhorib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya. Atau tidak adanya pembatasan dalam spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis
2.1.2. Mudharabah muqayyadah
Bersifat terbatas. Sedangkan pada sistem ini pihak shohibul mal memberikan batasan tertentu dalam usahanya kepada mudhorib, misalnya; jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang diperbolehkan terlibat dalam investasi. Pada jenis ini pula shohibul mal dapat mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkanhartanya dengan dana al-mudharobah.
2.2. Rukun Transaksi Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalat atau kata-kata yang searti dengannya.
Sedangkan menurut Jumhurul ulama,rukun mudharabah ada tiga hal yaitu: adanya
(1). Al-Aqidaini; dua aqad antara mudharib dan darib,
(2). Ma’qud alaih ; adanya sesuatu yang diaqadkan,
(3). Shighot; lafadz ijab maupun qobul antara dua pihak. Sedangkan menurut Hanafiyah rukun
Mudharabah dibagi menjadi tiga: iaitu
a. adanya dua pihak yang berakad (pemilik modal dan penguhasa)
b. materi yang diperjanjikan, mencukupi modal usaha dan keuntungan.
c. Sighaoh (ijab dan qobul)
Sedangkan mernurut Gemala Dewi dkk, mengemukakan rukun Mudharabah ada empat hal iaiatu:
a. pemodal dan pengelola
b. Sighoh (ijab dan Qobul)
c. Modal
d. Nisbah keununtungan.
2.3. Syarat Sah transaksi Mudharabah
Adapun dalam kitab Doktrin ekonomi Islam Af-zalurrahman mengutip daripada beberapa kajian tentang sistem ini, ia mengatakan bahwa ulama’ islam (terutama keempat-empat imam sunni), telah mengkaji mendalam dan menentukan sifat dan skop sebenarnya tentang kontrak syrkah dan mudharabah dan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Mereka semua setuju bahwa mudharabah adalah halal dan dibernarkan dalam Islam asalakan memenuhi beberapa syarat berikut:
2.3.1. Jika dua orang (atau lebih) berikat janji secara sukarela bilamana satu pihak memberikan modal dana kepada pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang akan dibagi bersama.
2.3.2. Apabila ada kesepakatan diantara shohibul mal dan mudharib dalam keuntungan yang mungkin akan dihasilkan dai pada aktifitas ekonomi tersebut dengan membagi sesuai dengan kesepakatan mereka berdua seperatus atau nisbah dari pada jumlah keuntngan.
2.3.3. Akan tetapi apabila berlaku kerugian, darib tidak akan mendapatkan apa-apa bagi kerjanya, dan semua kerugian itu ditanggung sepenuhnya oleh shohibul mal.
2.3.4. Modal itu harus diserahkan kepada pihak lain dengan akad untuk tujuan mudharabah.
2.3.5. Darib bebas untuk berniaga dengan modal yang diamanahkankepadanya itu dengan apa saja cara yang difikirkan baik dan boleh mengambil langkah-langkah yang dirasakan perlu dan betul untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum sesuai dengan ajaran agama atau syari’at Islam.
2.3.6. Tempo perkongsian itu tidak ditetapkan da tidak terbatas tetapi setiap pihak berhak untuk menamatkan kontrak perkongsian itu dengan memberitahukan kepada rekanya.
Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil, namun demikian tidak disyaratkan harus muslim, mudharabah dibolehkan dengan orang kafir Dzimmi.Adapun ulama malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir Dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
Adapun syarat sahnya dalam permodalan adalah:
a. Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham atau sejenisnya.
b. Modal harus diketaui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c. Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus berada ditempat.
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha
b. Modal harus diketaui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c. Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus berada ditempat.
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha
Sedangkan syarat sahnya dalam Laba adalah:
a. Laba harus memiliki ukuran
b. Laba harus berupa bagian yang umum atau (masyhur)