KEPAKAN SAYAP NURANIMU


Seorang lelaki menemukan telur burung rajawali pada suatu hari. Ia meletakan telur itu bersama dengan telur-telur ayam disarang seekor induk ayam peliharaan yang sedang mengeram. Telur itu menetas bersama telur ayam yang lain dan anak burung itu tumbuh bersama anak-anak ayam yang diasuh oleh induk ayam itu.
          Selama hidupnya, burung rajawali itu bertingkah laku sama dengan ayam peliharaan. Dia mengais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Dia berkotek dan berkokok dan sesekali mengepak-ngepakan sayapnya dan terbang beberapa meter di udara.
          Tahun berlalu dan burung rajawali itu kian tua. Suatu hari ia melihat burung yang sangat gagah terbang di angkasa yang tak berawan. Burung itu melayang dengan angun dan berwibawa dalam embusan angin yang kuat, dia hanya membentangkan sayapnya dan jarang sekali menggerakan sayapnya.
          Rajawali itu terpesona memandang ke atas “Siapakah itu?” tanyanya. “Itu adalah burung rajawali, raja dari segala burung,” kata ayam di dekatnya. “Dia penghuni langit, dan kita penghuni bumi, kita adalah ayam. Demikianlah rajawali itu hidup terus dan mati sebagai seekor ayam, karena begitulah anggapannya tentang dirinya.
          Tuhan telah meniupkan ruh-Nya pada setiap diri manusia. Ruh itulah insaniyyat al-insan, esensi manusia. Para filsuf muslim kerap menyebutnya “sang rajawali” kesadaran ruhani. Karena berasal dari Tuhan, ia senantiasa ingin terbang mendekati Tuhan yang Mahakasih dan Mahasuci. Tapi persepsi, sikap, perilaku dan pengalaman kita malah mencerminkan “ayam peliharaan”.
          Kita tidak usah sewot dibilang demikian. Al-Quran juga tegas-tegas menyebut orang yang tak menggunakan mata, telinga dan akalnya untuk menyerap tanda-tanda kebenaran dan kebesaran Allah laksana binatang peliharaan, bahkan lebih sesat lagi.
          Kepak sayap “sang rajawali” dalam diri pun amat lemah, karena sudah sekian lama kita disuapi kesenangan material di bumi ini. Bahkan dalam masyarakat modern, kita terkurung dalam sangkar yang sempit dan pengap. Kita hidup dari sangkar ke sangkar, kotak ke kotak dari penjara ke penjara. Sangkar itu bisa jadi hasrat sesaat, bisa jadi sebuah ideologi, partai, jabatan, popularitas dan kekayaan. Semua telah menghalangi kita memperoleh kebebasan dalam alam spiritual dan intelektual yang merupakan panggung raksasa bagi aktualisasi kemanusiaan kita.
          Saya yakin, kita lebih cerdas daripada ayam piaraan itu! Masalahnya, kendati kita tahu, kita acap tak acuh pada ruh kita. Konon, dalam diri kita ada “pertempuran” abadi antara “gravitasi langit” dan “gravitasi bumi”. Antara dimensi malaikati dan dimensi setani. Antara humanity dan animality kita. Antara ruh dan nafsu. Bila ruh menang dan mengendalikan diri kita, kita akan beriman, memeluk kebenaran dan berbuat kebajikan. Namun bila nafsu mengendalikan, kita akan cenderung pada keburukan, mengingkari kebenaran dan suka melakukan kemungkaran.
          Nafsu inilah menurut sebagian ulama – al Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Sina – sisi kebinatangan manusia. Ilmuan Ikhwanus Shafa menyatakan bahwa binatang mempunyai dua ciri, yang keduanya sama dengan karakter hawa nafsu manusia; selalu mencari keuntungan dan mempertahankan diri; menarik apa pun yang menyenangkannya dan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya. Pekerjaan hewan, simpul al-Ghazali, hanyalah makan, minum, tidur, berhubungan seksual dan berkelahi. Demikian pula kecenderungan nafsu-jiwa hewani kita.
          Jujur saja, nafsulah yang kerap menang dalam pergulatan hidup kita. Apa buktinya? Persis seperti Al-Quran gambarkan tentang ciri-ciri nafsu, kita cenderung berbuat dosa. Nafsu tidak ragu-ragu melakukan dosa besar dan gemar melanggar larangan Allah (QS al-Maidah: 30), enggan mendengar nasihat (QS al-Maidah: 27-29), suka berdusta (QS al-Nisa’: 20/112, al-Ahzab:58), suka bermusuhan (QS al-Mujadalah: 8), suka melampaui batas dan enggan berbuat baik (QS al-Qalam: 12), suka berkhianat (QS al-Nisa’:107), buruk sangka (QS al-Hujurat: 12) sombong (QS al-Furqan: 21), kikir (QS al-Nisa’:128), mesum (QS Yusuf: 23) dan culas (QS Yusuf: 18).
          Jadi nafsu adalah potensi dalam diri kita yang menjadi pangkal dari segala sifat tecela. Qur’an menegaskan “karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” Karena itulah Rasulullah saw. mengajarkan kita agar berdoa, “Kami berlindung kepada Allah dari jahatnya nafsu kami”.
          Nafsu tidak akan puas karena ia diperturutkan, malah menjerumuskan. “Hawa nafsu ibarat nyala api. Jika sampai pada titik dipadamkan, ia akan merambah wilayah lainnya. Ia ingin membakar objek amarahnya,” tutur Imam al-Qusyairi. Sebaliknya, jika berhasil dikendalikan, ia akan membantu kita. Disinilah kita mengerti betapa kita membutuhkan puasa sebagai metode agar kita tak dikendalikan nafsu, melainkan mengendalikannya.
          Mengendalikan nafsu sebetulnya berarti menutup pintu dosa sekaligus menutup pintu masuk setan. Sebab hanya melalui hawa nafsulah setan yang terkutuk bisa menggoda manusia. Setan tercipta dari api. Sebagaimana api ia baru muncul setelah ada pematiknya. Bila ada bahan bakarnya. Itulah hawa nafsu dan perbuatan buruk. Setan tak punya kekuatan terhadap orang yang berjiwa bersih dan berhati tulus. Tuhan berfirman “ Sesungguhnya tiada kekuasaan bagimu terhadap hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang yang menyeleweng dan mengikutimu” (QS al-Hijr: 42). Di sini pulalah kita jadi mengerti sabda Nabi. “Di bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu dan pintu-pintu neraka ditutup.”
          Menarik sekali, Syekh Tosun Bayrak menamsilkan setan dengan hawa nafsu laksana seorang pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah anda di malam hari, untuk mencuri apa pun yang berharga dan berguna. Anda tidak dapat melawan pencuri ini secara langsung, karena ia akan membalikkan kekuatan apapun yang anda arahkan kepadanya. Jika anda memiliki sepucuk senjata, sang pencuri pun memiliki benda serupa. Jika anda memiliki sebilah pisau, ia juga memiliki sebilah pisau. Bertempur melawan sang pencuri sama halnya dengan mengundang bahaya. Jalan keluar yang termudah adalah dengan menghidupkan lampu. Sang pencuri yang berhati pengecut pasti lari meninggalkan rumah tersebut.
          “Menghidupkan lampu” berarti membangkitkan kesadaran. Menyalakan cahaya dalam diri. Mengoptimalkan potensi-potensi positif kita. Itulah esensi ibadah puasa. Semarak ibadah di bulan Ramadhan dimaksudkan untuk menerobos kegelapan dengan menyalakan cahaya ruhani kita. Dengan puasa pula kita berusaha mengepakkan sayap “sang rajawali ruhani kita” di angkasa yang tak berawan. Terbang dari kungkungan hawa nafsu dan dominasi materi menuju langit spiritualitas, mendekati Tuhan, Sumber Energi spiritual dan kearifan. 
  • "Orang kerap kali tak bernalar, tak logis, dan egois. Biar begitu maafkanlah mereka.  
  • Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu, tetaplah bersikap baik. 
  • Bila engkau mendapat sukses, engkau mungkin bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh. Biar begitu, tetaplah meraih sukses. 
  • Bila engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang. 
  • Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu, tetaplah membangun. 
  • Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia. 
  • Kebaikan yang engkau lakukan hari ini sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan. 
  • Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik." 
"You have brains in your head. You have feet in your shoes. You can steer yourself any direction you choose. You're on your own. And you know what you know. And YOU are the one who'll decide where to go..."