Cabang ilmu



Banyak pakar yang engkaji tentang ilmu. Ibnu Sina, misalnya, mengklasifikasikan ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-ilm al-ilahi (ilmu ketentuan atau metafisika), al-ilm al-riyadi (ilmu matematika), al-ilm tabi’I (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibnu Sina menyebut ketiga ilmu itu pula dengan  al-ilm al-a’la (ilmu yang tinggi), al-ilm al-aswat (ilmu petengahan), dan al-ilm al-asfal (ilmu yang rendah). Klasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi suatu ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Bagi Ibnu Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhanan lebih utama dari ilmu lainnya, sebab persoalan ini menyangkut kewajiban manusia sebagai individu dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak berarti, bahwa ilmu alam dan matematika tidak penting. Klasifikasi itu hanya menunjukkan kepada struktur atau tartib pengajaran. Ilmu ketuhanan meski didahulukan daripada ilmu lainnya, sebab ia menyangkut dengan penanaman akidah dan keyakinan. Kemudian peringkat kedua adalah ilmu matematika, ia didahulukan dari ilmu alam sebab matematika merupakan alat untuk mengkaji ilmu alam. Tetapi, dalam penyusunan kurikulum bisa saja akidah diajarkan seiring dengan ilmu alam dengan menjadikan fenomena alam yang diperhatikan siswa sebagai media penguatan akidah.
Berbeda dengan Ibnu Sina, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua macam, yaitu ilmu syari’ah dan ilmu ghayr al-shari’ah. Klasifikasi ini serasi dengan pembagian yang dibuat oleh ibnu Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu aqal. Yang pertama sama dengan syari’ah dan yang terakhir sama dengan ilmu ghayr al-shari’ah dalam kategori al-Ghazali.
Penulis melihat, bahwa klsifikasi ini, baik al-Ghazali maupun Ibnu Khaldun, di dasarkan atas sumber ilmu. Ilmu tersebut ada yang bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan ada pula yang bersumber dari alam dan fenomenanya. Ilmu yang bersumber dari wahyu disebut dengan ilmu naqal  atau syari’ah dan ilmu yang merupakan hasil penyelidikan terhadap alam dan segala fenomenanya disebut dengan ilmu aqal atau ghayr al-shari’ah.
Klasifikasi di atas bukan dalam arti pengelompokkan ilmu yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain atau dikotomi, tetapi dalam arti pembagian berdasarkan karakteristik dan objek kajian suatu ilmu. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka pembelajaran, pewarisan, dan pengembangan ilmu itu sendiri. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka suatu lembaga pendidikan menjadi mudah menentukan urutan-urutan pengajaran sesuai dengan kepentingan masyarakat dan anak didik yang belajar padanya, dan menjadi jelas perbedaan antara ilmu alat, sebagai teori, dan ilmu tujuan sebagai praktik bagi kepentingan hidup manusia.
Walaupun para ilmuan muslim klasik telah mengklasifikasikan cabang-cabang ilmu tersebut, namun mereka sepakat bahwa yang terpenting adalah semua cabang berangkat dari sumber utamanya, yaitu Allah. Maka pembelajaran sebagai pewaris ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu mesti diformat atas dasar keimanan dan ketaqwaan.