Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maisir/judi adalah permainan (baik yang lama maupun yang baru timbul) yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan secara berhadap-hadapan atau langsung. Sedangkan apabila unsur berhadap-hadapan/langsung tidak ada atau unsur taruhan itu ada tetapi tidak dilakukan secara berhadap-hadapan/langsung, maka jelas permainan itu tidak bisa dikategorikan sebagai maisir atau judi.
Di dalam buku A. Hasan yang berjudul Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama dijelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharamkan lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma. Pasalnya menurut kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan, sedangkan dalam konteks Islam, ikhlas merupakan salah satu masalah yang dianggap pokok.
Fuad M. Fachruddin berpendapat bahwa lotere tidak termasuk salah satu perbuatan judi (maisir) yang diharamkan karena illat judi atau maisir tidak terdapat dalam lotere. Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila bermaksud dan bertujuan hanya menolong dan mengharapkan hadiah, maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila seseorang bertujuan semata-mata ingin memperoleh hadiah, menurut Muhammad Fachruddin perbuatan itu pun tidak termasuk perjudian sebab pada perjudian kedua belah pihak berhadap-hadapan dan masing-masing menghadapi kemenangan atau kekalahan.
Muhammad Abduh sebagai pengarang kitab tafsir al Manar berpendapat bahwa umat Islam diharamkan menerima uang hasil undian (lotere), baik secara individual maupun secara kolektif. Alasannya ialah karena hal itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.