BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN UNDIAN BERHADIAH
Undian berhadiah dikenal dengan lotere. Menurut Ibrahim Husein lotere atau undian berhadiah adalah salah satu cara untuk menghimpun dana yang dipergunakan untuk proyek kemanusiaan dan kegiatan social.
Undian ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara menjual kupon amal dengan nomor-nomor tertentu. Tujuannya untuk merangsang dan menggairahkan para penyumbang (pembeli kupon) diberikan hadiah-hadiah. Hadiah ini biasanya diundi di depan notaries dan dibuka untuk umum. Siapa saja yang nomornya tepat akan mendapatkan hadiah tersebut.
Ada juga toko yang menyebarkan karcis, misalnya tiap-tiap belanja seharga Rp 100.000,00 memperoleh sebuah karcis, pada waktu-waktu tertentu karcis tersebut diundi. Orang yang nomor karcisnya keluar akan memperoleh hadiah yang telah dijanjikan, biasanya hadiah berupa motor atau mobil. Undian seperti ini dilakukan untuk merangsang para pembeli agar mau berbelanja pada toko tersebut.
Hal-hal di atas sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti di bioskop, taman hiburan, perusahaan sabun, pasta gigi dan benda-benda lainnya. Disebut sumbangan berhadiah karena bagi pemenangnya akan memperoleh hadiah dari pihak penyelenggara. Disebut pula undian harapan, karena hadiah yang diharap-harap itu penentuannya melalui undian.
B. AKTIVITAS LOTERE
Lotere (undian berhadiah) dalam aktivitasnya melibatkan hal-hal sbb:
1. Penyelenggara, biasanya pemerintah atau lembaga swasta yang legal mendapatkan izin dari pemerintah.
2. Para penyumbang, yakni orang-orang yang membeli kupon dengan mengharapkan hadiah.
Kegiatan pihak penyelenggara adalah sbb:
1. Mengedarkan kupon (menjual kupon), salah satu fungsi pengedaran kupon adalah dapat dihitungnya dana yang diperoleh dari para penyumbang.
2. Membagi-bagi hadiah sesuai dengan ketentuan, hadiah ini diambil dari sebagian hasil dana yang diperoleh.
3. Menyalurkan dana yang telah terkumpul sesuai dengan rencana yang telah ditentukan setelah diambil untuk hadiah dan biaya operasional.
Dalam makalah ini kami akan membahas berbagai pendapat ulama tentang boleh tidaknya undian berhadiah atau lotere ini menurut hokum Islam.
BAB II
UNDIAN BERHADIAH MENURUT ULAMA
A. MAISIR MENURUT IBRAHIM HOSEN
Ibrahim Hosen di dalam bukunya yang berjudul Ma huwa al maisir menyatakan bahwa hakikat judi menurut bahasa Arab adalah permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung (berhadap-hadapan) di dalam suatu majelis. Selanjutnya menurut beliau yang harus digarisbawahi adalah taruhan dan langsung (berhadap-hadapan).
Pada diskusi yang kami lakukan, menurut dosen pembimbing, pendapat Ibrahim Hosen itu sudah tidak relevan dengan kondisi yang sekarang. Sebab undian berhadiah yang berkembang saat ini tidak hanya dilakukan secara berhadap-hadapan tetapi juga bisa lewat media komunikasi seperti sms dan lewat internet. Melalui media ini tentunya tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui dunia maya. Dan hal ini tidak berarti bukan disebut undian berhadiah karena masih ada unsur taruhannya.
Sebelum beliau menjelaskan illat judi Arab, beliau menegaskan bahwa sifat yang dapat dijadikan illat harus:
1. Merupakan sifat yang jelas yang dapat dicerna atau ditangkap oleh panca indra.
2. Merupakan sifat yang mundabith, artinya yang mantap, tetap, pasti dan tidak berubah-ubah karena situasi dan kondisi.
3. Sifat yang munassib (relevan), artinya dalam sifat yang dijadikan illat tadi mengandung hikmah.
4. Sifat itu harus dapat dibawa/dikembangkan pada kasus-kasus yang timbul kemudian, hal ini dilakukan untuk diqiyaskan.
Illat pengharaman maisir tidak dijelaskan dalam nash. Sekalipun ada nash yang mengharamkan, tetapi tidak menyinggungnya. Illat judi harus diteliti, digali sehingga dapat diketahui.
Pada surat Al Maidah ayat 90 dikatakan bahwa judi adalah rijsun (kotor) dan merupakan perbuatan syaitan. Rijsun dan perbuatan syaitan tidak dapat dijadikan illat sebab menurut beliau rijsun itu subyektif dan masih samar, perbuatan syaitan juga sulit untuk dijadikan kriteria dan batasannya. Bila rijsun dan perbuatan syaitan dijadikan illat hukum, maka ada beberapa hokum yang mempunyai illat hukum yang sama sebab ayat tersebut membicarakan maisir, anshab dan azlam.
Selanjutnya beliau menjelaskan surat Al Maidah ayat 91 bahwa maisir dalam ayat tersebut akan menimbulkan permusuhan dan kebencian serta akan menyebabkan pelakunya lalai zikir kepada Allah. Bila hal ini dijadikan illat hukum, maka akan terjadi seperti pada ayat 90 di atas, yaitu sifat-sifat itu tidak jelas.
Beliau juga berpendapat bahwa yang pertama berhasil menemukan illat maisir adalah Imam Syafi’i. illat maisir menurut Imam Syafi’i adalah berhadap-hadapan langsung. dan untuk pembuktiannya bisa dilihat langsung dalam kitab-kitab fiqhnya pada bab pembahasan pacuan kuda. Menurut fiqh mazhab Syafi’i terdapat 3 macam taruhan yang dibenarkan oleh Islam yaitu:
- Apabila yang mengeluarkan barang atau harta yang dipertaruhkan adalah pihak ketiga.
- Taruhan yang bersifat sepihak.
- Taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan ketentuan siapa saja yang kalah harus membayar atau memberikan sesuatu kepada seseorang yang menang. Akan tetapi cara ini harus dengan yang menghalalkan.
Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa Muhammad Abduh di dalam tafsir al Manar berpendapat bahwa lotere berbeda dengan judi (maisir), sebab lotere dilakukan tidak berhadap-hadapan secara langsung.
Dinukil dari kitab Nailul Autar juz VIII halaman 258 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan maisir adalah:
“Setiap permainan yang pemainnya tidak sunyi dari menang atau kalah, maka disebut maisir.”
Ta’rif di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang disebut judi adalah permainan yang memungkinkan bagi pemainnya untuk menang dan kalah. Dikemukakan pula oleh Ibrahim Hosen dari kitab Fathul Barry bahwa yang disebut judi adalah apabila masing-masing dua pihak mengeluarkan taruhan, siapa yang menang akan mengambil benda-benda yang dijadikan taruhan tersebut.
Akhirnya Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maisir/judi adalah permainan (baik yang lama maupun yang baru timbul) yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan secara berhadap-hadapan atau langsung. Sedangkan apabila unsur berhadap-hadapan/langsung tidak ada atau unsur taruhan itu ada tetapi tidak dilakukan secara berhadap-hadapan/langsung, maka jelas permainan itu tidak bisa dikategorikan sebagai maisir atau judi.
B. LOTERE MENURUT A. HASAN BANGIL
Di dalam buku A. Hasan yang berjudul Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama dijelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharamkan lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma. Pasalnya menurut kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan, sedangkan dalam konteks Islam, ikhlas merupakan salah satu masalah yang dianggap pokok.
Pada bait berikutnya beliau menjelaskan bahwa mengadakan (menyelenggarakan lotere) adalah haram dan membelinya adalah perbuatan dilarang (diharamkan).
C. PENERIMAAN UANG LOTERE MENURUT A. HASAN
Berdasarkan kaidah syara’, setiap sesuatu yang dihasilkan dari cara yang haram, haram pula benda yang dihasilkannya. Jika dilihat dari sisi ini, maka penerimaan uang hasil lotere adalah haram.
Menurut beliau pula bahwa keadaan di Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam, namun hukum-hukum yang berlaku hanya sebatas pada bidang perkawinan, ibadah dan pembagian warisan, tetapi tidak pada aspek yang lain seperti pembelian kupon.
Selanjutnya beliau menyimpulkan bahwa mengadakan lotere dan membeli lotere adalah terlarang, sedangkan menerima dan meminta bagian dari uang lotere adalah perlu atau mesti sebab kalau tidak diambil akan digunakan oleh umat lain untuk merusak umat Islam atau paling tidak memundurkannya.
Pendapat A. Hasan ini dikritik oleh Ibrahim Hosen. Menurut Hosen pendapat A. Hasan ini samar karena belum dapat diketahui secara pasti apa yang dimaksud dengan “perlu” dan “mesti”.
D. LOTERE MENURUT FUAD MOHD. FACHRUDDIN
Fuad M. Fachruddin berpendapat bahwa lotere tidak termasuk salah satu perbuatan judi (maisir) yang diharamkan karena illat judi atau maisir tidak terdapat dalam lotere. Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila bermaksud dan bertujuan hanya menolong dan mengharapkan hadiah, maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila seseorang bertujuan semata-mata ingin memperoleh hadiah, menurut Muhammad Fachruddin perbuatan itu pun tidak termasuk perjudian sebab pada perjudian kedua belah pihak berhadap-hadapan dan masing-masing menghadapi kemenangan atau kekalahan.
Pada bagian akhir tentang lotere Fuad M. Fachruddin menjelaskan sbb:
- Mengeluarkan lotere oleh suatu perkumpulan Islam yang berbakti adalah dibolehkan.
- Menjual lotere yang dilakukan oleh perkumpulan Islam yang berbakti dibolehkan.
- Membeli lotere di samping mendapatkan hadiah yang dibagi-bagikan oleh perkumpulan itu dibolehkan.
Itu semuanya dibolehkan tanpa adanya keharaman-keharaman, sekalipun maksud pembeli lotere itu untuk mendapatkan hadiah semata-mata.
E. PENERIMAAN UANG LOTERE MENURUT ABDUH
Muhammad Abduh sebagai pengarang kitab tafsir al Manar berpendapat bahwa umat Islam diharamkan menerima uang hasil undian (lotere), baik secara individual maupun secara kolektif. Alasannya ialah karena hal itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Maksud harta yang batil menurut Abduh adalah harta yang tidak ada imbangannya/imbalannya dengan sesuatu yang nyata. Kata batil berasal dari kata batlan dan butlanan yang artinya sia-sia dan rugi. Agama telah mengharamkan mengambil harta tanpa ada imbalannya yang nyata yang dapat dinilai dan tanpa adanya keridhaan pemiliknya, di mana harta itu diambil, demikian pula haram mendermakannya pada jalan yang tidak ada manfaatnya.
Dari pendapat Muhammad Abduh di atas, kiranya dapat kita pahami bahwa memakan harta dengan batil ialah:
- Mencari atau mengambil harta orang lain dengan tanpa ada imbalan yang nyata yang dapat dinilai
- Menerima atau mengambil harta orang lain dengan tanpa ridhanya.
Atas dasar itulah Muhammad Abduh berpendapat haram memberikan shadaqah kepada seseorang yang masih mampu bekerja sekalipun apabila orang itu tidak diberi sedekah akan jatuh pailit dan meminta-minta. Demikian pula bagi orang yang masih mampu bekerja dan berusaha diharamkan menerima sedekah selama tidak dalam kondisi darurat, bahkan meskipun dalam keadaan darurat. Apabila ia masih mampu melepaskannya dengan berusaha dan bekerja, maka tetap diharamkan menerimanya.
Dalam bagian lain dijelaskan oleh Muhammad Abduh mengenai pendapat fuqaha yang menyatakan bahwa seseorang yang tidak mempunyai pakaian sama sekali untuk menutup auratnya, maka dia tidak wajib meminjam pakaian kepada orang lain, maka dia harus shalat dengan telanjang, dia tidak dibolehkan menerima pemberian pakaian dari orang lain.
Dengan berprinsip pada pendapatnya di atas, Abduh mengharamkan menerima dan mengambil hadiah orang yang menang dalam lotere (undian) dan pada akhirnya diharamkan pula memanfaatkan hasil lotere tersebut.
Pertanyaan yang diajukan audien selama kami melakukan diskusi hanya ada satu pertanyaan yaitu apakah taruhan melalui handphone diperbolehkan?
Jawabannya tidak boleh karena ulama sepakat mengharamkan taruhan dalam segala bentuk termasuk melalui hp walaupun tidak berhadap-hadapan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas kami mengambil kesimpulan bahwa:
Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maisir/judi adalah permainan (baik yang lama maupun yang baru timbul) yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan secara berhadap-hadapan atau langsung. Sedangkan apabila unsur berhadap-hadapan/langsung tidak ada atau unsur taruhan itu ada tetapi tidak dilakukan secara berhadap-hadapan/langsung, maka jelas permainan itu tidak bisa dikategorikan sebagai maisir atau judi.
Di dalam buku A. Hasan yang berjudul Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama dijelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharamkan lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma. Pasalnya menurut kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan, sedangkan dalam konteks Islam, ikhlas merupakan salah satu masalah yang dianggap pokok.