Masalah asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan leh Alquran dan Al-Sunnah secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia Timur pada abad XIX Masehi. Dunia Barat sudah mengenal sistem asuransi ini sejak abad XIV Masehi, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d IX Masehi. Di kalangan ulama atau cendekiawan Muslim terhadap empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu: a. mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa, klmpok ini antara lain antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, alasannya antara lain: • asuransi pada hakikatnya sama dengan judi; • mengandung nsur tidak jelas dan tidak pasti; • mengandung unsur riba/rente; • mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya yang telah dibayarkan; • premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang poils diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan); • asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar-menukur mata uang tidak dengan uang tunai; • hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa. b. Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya dewasa ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakan sebagai berikut: • tidak ada nash Alquran maupun nash al-Hadis yang melarang asuransi; • kedua pihak yang berjanji (asuradatordan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima oprasi ini dilakukan dengan memikultanggung jawab masing-masing; • asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak; • asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkemul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang priduktif dan untuk pembangunan; • asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing); • asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah; • dianalogikan atau diqiaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen; • operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama; • asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan keperibadian. Dengan alasan-alasan yang demikian, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan. Praktik atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang banyak dibenarkan oleh agama. Lebih jauh Fuad Mohammad Fachrudin menjelaskan bahwa asuransi sosisal, seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan, diakibatkan oleh pekerjaan. Negara melakukannya terhadap setiap orang yang membayar iuran premi yang ditentukan untuk itu, negara pula yang memenuhi kekurangan yang terdapat dalam perbedaan uang yang telah dipungut dengan uang pembayar kerugian. Maka asuransi ini menuju kearah kemaslahatan umum yang bersifat sosial. Oleh karena itu , asuransi ini dibenarkan oleh agama Islam. Asuransi terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi yang di dalamnya termasuk penabungan). Hakikat asuransi campur mencakup dua premi, yaitu ubntuk menutup bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalm jangka waktu yang telah ditentukan, maka hukumnya dibolehkan oleh agama Islam karena asuransicampur didalamnya terdapat dorongan untuk menabung dan penabungan itu untuk kemaslahatan umum. Syaratnya, perusahaan asuransi berjanji kepada para pemegang polis bahwa uang preminya tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan riba, hal ini sama dengan hhukm penabungan pada pos, adapun asuransi keclakaan yang diadakan (dilaksanakn) dengan asuransi biasa menurut Fuad Mohammad Fachruddin tidak dibolehkan, karena asuransi ini tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama. c. membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhamad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang berifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan penggharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama. d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas meng